MEDAN – Kebudayaan Indonesia menyimpan banyak pengetahuan medis yang bermanfaat bagi kesehatan. Pengobatan yang bersifat tradisional tersebut hendaknya dipadukan dengan praktek kesehatan modren. Alasannya, terdapat beberapa kasus yang ditak dapat disembuhkan pengobatan modren dan bisa disembuhkan dengan pengobatan tradisional. Salah satunya yakni praktek pengobatan folk healing atau perdukunan.
Hal ini disampaikan oleh Prof. Masanori Yoshida, Ph.D., di depan mahasiswa Antropologi Sosial Pascasarjana Universitas Negeri Medan (Unimed) dalam acara kuliah umum, di Casa Mesra Library, Medan, pada Minggu (27/8).
“Semua etnik yang ada di Indonesia memiliki praktek folk healing, Beberapa dukun mengadopsi praktek di luar etniknya,” kata Yoshida.
Pendapat ini didasarkan pada penelitian yang dilakukannya di Kota Tebing Tinggi pada 1985 silam. Folk healing merupakan kebudayaan yang tidak bisa ditinggalkan masyarakat. Berdasarkan pengamatannya, masih banyak orang yang berobat ke dukun meskipun sudah berobat secara medis. Ia menyarankan, pengetahuan medis tradisional ini hendaknya dilestarikan.
Menurut guru besar Nihon University Jepang ini, kebiasaan-kebiasan pengobatan secara budaya itu seperti terbawa di dunia medis modern. Di Indonesia, saat berada di sebuah ruang ICU, dia mengamati keluarga pasien justru menimbulkan suara yang cukup mengganggu yang dia anggap bagian dari pengobatan tradisional. Sebaliknya, pola ini sangat berbeda dengan budaya di Jepang yang terbiasa dengan suasana hening.
Praktek folk healing, menurut Yoshida bukan hanya tentang pengobatan medis, tetapi ada juga yang non-medis. Misalnya, ritual dalam siklus kehidupan seperti pesta perkawinan. “Ada juga yang minta dibantu oleh dukun ketika kehilangan pekerjaan, berseteru dengan kawan, perceraian, dibantu jodoh, promosi pekerjaan, pemujaan dalam bidang pertanian, dan masih banyak lagi”, ujar Yoshida.
Sementara itu, Ketua Program Studi Antropologi Pascasarjana Unimed, Dr. Hidayat, M.Si mengungkapkan, ceramah umum tersebut dibuat agar dapat menambah kajian penelitian mahasiswa antropologi dan dunia kesehatan. “Seminar umum ini berkenaan dengan dunia antropologi medis (medical anthropology). Kaitannya, medical anthropology ini merupakan bagian dari cabang ilmu antropologi. Kajian ini sebenarnya bukan hal yang baru, tapi mungkin hanya belum banyak dikaji,” paparnya.
Paparan yang disampaikan Prof Masanori itu, lanjutnya, merupakan penelitian pribadi yang berkaitan dengan antropologi kesehatan atau antropologi kedokteran. “Di kita (Indonesia), bidang ini memang masih sedikit yang mengkaji. Hanya beberapa saja dari angkatan di Antropologi Pascasarjana Unimed yang mengambil tema itu, di antaranya kajian tentang dunia kesehatan etnis Karo, atau etnis Batak,” paparnya.
Karena itulah, dia berharap, ceramah kali ini dilakukan agar menjadi perluasan wawasan bahwa kajian antropologi kesehatan itu merupakan materi yang sangat penting. “Kita seperti kekurangan (kajian penelitian). Padahal bidang ini juga hal yang sangat penting. Kalau di negara maju, seperti Jepang, bidang antropologi kesehatan ini sangat penting. Namun di kita (Indonesia), belum,” sebutnya.
Lanjutnya, kesehatan itu berkaitan dengan unsur budaya. “Ada bagian yang dihilangkan dari tradisi pendidikan kedokteran kita, yang hanya mengarah pada unsur medis. Orang sakit itu, banyak faktor, dan bisa dikaitkan dengan budaya. Ada yang bisa sembuh bahkan tidak konsumsi obat tapi merasa yakin sehingga menimbulkan efek bahagia. Kebahagiaan itu tidak bisa diselesaikan dengan obat, bukan medis,” ujarnya sambil menambahkan sebelumnya Prodi Ansos juga mendatangkan sejumlah guru besar luar negeri, di antaranya Prof Dominik Bonatz Jerman, Uly Kozok Amerika Serikat dan lainnya. (Humas Unimed).