MEDAN – Mempersatukan nusantara dapat dilakukan dengan penetrasi budaya Melayu. Keberhasilan penetrasi budaya dibuktikan oleh Wali Songo saat melakukan penyebaran Islam dengan damai setelah sebelumnya upaya mempersatukan nusantara melalui kekuasaan politik yang dikenal dengan Sumpah Palapa, tidak terlaksana sepenuhnya. Peran Melayu juga sangat penting karena identitas ini telah berkembang menjadi suatu kesatuan kawasan.
Demikian disampaikan antropolog senior Prof. Usman Pelly, Ph.D saat peluncuran buku “Tak Hilang Melayu di Bumi”, yang dihelat di Ruang Sidang A, Biro Rektor Unimed, pada Rabu (14/8). Peluncuran buku tersebut dihadiri oleh Wakil Rektor 1 Unimed, Prof. Dr. Abdul Hamid K., M.Pd., Wakil Rektor III Prof. Dr. Sahat Siagian, M.Pd., Direktur Pascasarjana Prof. Dr. Bornok Sinaga, M.Pd beserta jajarannya, Dekan di lingkungan Unimed, Antropolog UGM Prof. Sjafri Sairin, Ph.D., Sejarahwan Dr. Ichwan Azhari, M.S., Tokoh-tokoh Melayu seperti Prof. Djohar Arifin, Edy Ikhsan, Mantan Ketua DPRD Sumut Amiruddin, Dosen dan Mahasiswa Unimed, USU serta UINSU.
Prof Usman Pelly yang juga editor buku tersebut menyatakan, Melayu dapat didekati melalui dua cara. Jika dari segi etnik maka kita akan bertemu dengan etnik Melayu Deli, Langkat, Serdang atau Riau, Palembang dan Malaysia. Namun jika berbicara dalam kaitan budaya atau peradaban maka semua orang di nusantara adalah Melayu.
Diungkapkan Prof Usman, dalam naskah I La Galigo Bugis (200 M), epik sastra yang tertua dan terbesar didunia, disebutkan bahwa kata Melayu merupakan identitas kesatuan suku-suku bangsa di Nusantara. Ada Melayu Jawa, Melayu Minangkabau, Melayu Ternate, Melayu Aceh dan Melayu Sumatra Timur. Orang Bugis Makassar sendiri mengindentifikasikan dirinya sebagai Melayu Bugis dan Melayu Makasar. “Orang-orang Timur Tengah (Arab) menyebut orang Malaysia, Brunai Darussalam dan Indonesia, sebagai orang Jawi. Semua itu mengindikasikan bahwa manusia di Nusantara merupakan suatu kesatuan asal usul dan budaya (bahasa), tetapi bukan kesatuan kelompok etnik (genetik),” ungkap penulis buku Etnisitas Dalam Politik Multikultural ini.
Hasil penelitian Leiden University juga menyatakan, dalam konstruksi ponologi, lexicon dan morpologi, terdapat satu “level varian” bahasa Melayu dalam beberapa bahasa daerah, yaitu bahasa Melayu Malaysia, bahasa Minangkabau, Namjar Hulu, Serawai, Iban dan Betawi yang disebut sebagai “six desendan varians” proto Malayic. Bahasa Jawa sendiri adalah bahasa Melayu yang sangat banyak menerima pengaruh bahasa Sanskerta dan Arab karena agama-agama Hindu-Budha dan Islam telah melembaga melalui kerajaan. Berbeda dengan Jawa, bahasa Melayu di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan NTB, lebih dipengaruhi oleh bahasa Arab dibanding bahasa Sanskerta. “Ternyata bahasa disamping agama telah menentukan jati diri (identitas) budaya bagi sebuah peradaban yang berkembang,” tutur Prof Usman.
Menurut Prof Usman, Melayu telah mendapatkan kejelasan kampung halaman dan penutur asli, yang merupakan informasi penting dalam memahami proses orang Melayu menjadi Melayu. Hal serupa yang mendorong munculnya gerakan renaissance yang kini memajukan Eropa.
Diungkapkan Guru Besar Unimed ini, berdasarkan kajian Tim Investigasi Lembaga ATMA UKM, kampung halaman penutur asli bahasa Melayu adalah Kalimantan Barat. Selain itu, Bahasa Melayu Dayak Iban merupakan penutur bahasa Melayu yang sangat autentik yang disebut Proto-Malayic. Beberapa bahasa Melayu dari suku Dayak lainnya yang masih terisolir seperti Ngaju dan Mayaan menunjukkan keaslian yang sangat tinggi.
Oleh sebab itu, Prof Usman mendorong tiga Negara serumpun, Indonesia, Malaysia, dan Brunai Darussalam mampu bersinergi membangkitkan “batang terendam” kejayaan dunia Melayu tanpa menimbulkan berbagai akses yang bersifat degradatip. “Ketiga Negara ini (Malaysia, Indonesia, Brunai Darussalam) tergabung dalam satu paguyuban internasional. Kiranya contoh seperti Uni-Eropa, menjadi sangat ideal bagi dunia Melayu. Melayu inilah yang mempersatukan apa yang kita sebut nusantara,” pungkas Prof Usman.
Hal mengejutkan disampaikan oleh Prof Sjafri Sairin yang mengatakan, meskipun hampir sebagian besar penduduk Indonesia dan sebagian Asia Tenggara merupakan orang Melayu, namun banyak dari mereka cenderung menentukan dirinya sebagai orang non-Melayu.
Proses Melayunisasi juga tampaknya belum terlalu banyak memberikan hasil bagi bangsa Melayu. Melayunisasi menurut Prof Sjafri setidaknya menghasilkan tiga jenis. Yang pertama, Melayu Asli yang diturunkan langsung oleh orang tua kepada anaknya. Kedua, Melayu Kacukan yang merupakan perpaduan orang Melayu dengan orang asing melalui proses adaptasi dan amalgamasi. Ketiga, Prof Sjafri mengusulkan Melayu Malakok, yaitu mengizinkan orang diluar etnik Melayu untuk menjadi orang Melayu dengan hak dan kewajiban yang terbatas.
Sementara itu, Dr. Ichwan Azhari mengatakan, kejayaan Melayu dapat ditelusuri melalui sejarah tembakau Deli. Menurutnya, Tembakau Deli merupakan temuan terpenting orang Melayu Deli, jauh sebelum Belanda melalui Nienhuys membuka perkebunan tembakau di wilayah Deli. “Justru orang Melayu, yakni Said Bilsalgih yang membujuk Nienhuys menanam tembakau di Deli. Saat itu bertemu Nienhuys, Said mengeluarkan tembakau dari sakunya yang menunjukkan hebatnya tembakau Deli. Nienhuys kemudian ke Deli dan menghasilkan suatu revolusi agroindustri yang mengguncang sejarah tembakau dunia,” tutur Ichwan.
Buku Tak Hilang Melayu di Bumi
Kumpulan karangan dalam buku Tak Hilang Melayu di Bumi tampaknya perlu dibaca dan direnungkan terutama bagi yang berminat dalam studi orang Melayu dan perubahan sosial. Tulisan didalamnya menawarkan berbagai persfektif pengetahuan yang cukup lengkap tentang orang Melayu di Indonesia dan Malaysia. Dari puluhan artikel dalam buku tersebut terdapat beberapa artikel yang ditulis oleh pakar asing, yang melihat orang Melayu dari sisi yang berbeda.
Buku tersebut dibagi atas enam bagian. Bab pertama mengangkat tulisan-tulisan yang menelusuri sejarah dan budaya orang Melayu. Bab kedua menghimpun tulisan yang beragam menganai Bahasa Melayu dan Agama. Bab ketiga menghadirkan tulisan terkait dengan jati diri, kepribadian, benturan peradaban dan peradaban Melayu. Pada bab kelima pembaca akan disuguhi tulisan yang beragam mengenai berbagai peninggalan Hindu, Budha, Tionghoa, dan masalah kolonialisme serta masuknya agama Kristen. Sedangkan bab keenam menyodorkan dampak pluralisme masyarakat Melayu yang telah menjadi kenyataan. (Humas Unimed/dl)