MEDAN – Tidak ada yang pernah menyanggah bahwa Indonesia memiliki kuliner tradisional yang banyak dan sangat beragam. Dari ribuan resep kuliner tersebut, untuk jenis soto saja tercatat sekitar 50 jenis, yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Kemudian ada 60 jenis sate, dan hampir 100 jenis sambal nusantara. Jejak kulinernya pun sangat menarik untuk diketahui.
Demikian disampaikan Hokky Situngkir, Peneliti di Surya University dan Pendiri Bandung Fe Institute dalam “Seminar Sejarah Kuliner” yang dihelat di VIP Serbaguna Unimed, Kamis (26/4/2019). Narasumber lainnya yakni Prof. Dr. Posman Sibuea dari Unika St. Thomas dan Dr. Esi Emilia, Dosen Tata Boga Unimed. Seminar tersebut digagas oleh Sejarawan, Dr. phil. Ichwan Azhari beserta Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Unimed.
Bila dihitung menggunakan waktu, untuk mencicipi semua jenis hidangan sate misalnya, kata Hokky, setidaknya butuh waktu dua bulan makan malam untuk dapat menyelesaikannya. Butuh waktu setidak-tidaknya empat belas bulan makan malam untuk menghabiskan semua varian soto. Diperlukan 15 bulan sarapan hanya untuk menikmati seluruh variasi bubur di tanah air.
Berdasarkan penelitiannya, Hokky mengaku menemukan kekerabatan dan pola pikir, sosial, kombinasi budaya juga ilmu pengetahuan yang telah maju digunakan oleh leluhur bangsa bangsa Indonesia.
Hal inilah yang menyimpulkan Hokky tentang keterkaitan antara jenis hidangan daerah A dengan jenis hidangan daerah B. “Ekspedisi juga telah membuka pikiran bahwa suatu makanan tidak hanya soal lezat, pedas, asam, ataupun tidak enak, tapi ada sejarah dan cerita di baliknya yang berhubungan budaya masyarakat dan folklore,” ujarnya.
Dalam memproduksi kuliner tersebut, menurut Hokky ada silang budaya. “Tidak ada aspek singularitas dalam makanan di meja makan kita yang kita anggap biasa,” ujar Pendidi Sobat Budaya ini.
Aspek kesamaan dalam setiap masakan tersebut pun hanya sekitar 10 persen. “Artinya 90 persen adalah upaya untuk menyerap dari ekologi tempat makanan berada. Dengan demikian makanan adalah respon langsung manusia terhadap ekologi,” ujar Hokky.
Terkait kuliner khas Sumatera Utara, Prof Posman Sibuea menyampaikan adanya hubungan kebudayaan lokal dengan makanan yang datang dari luar. Dicontohkannya, bahwa salah satu penyebab bertahannya kerbau di daerah Toba karena masuknya keju yang dibawa oleh Belanda. “Keju membutuhkan sumber susu dan itu didapat dari susu kerbau. Orang Toba kemudian mencampurnya dengan perasan daun papaya, kemudian mencampurnya dengan susu dan dipanaskan secara berlahan. Jadilah keju,” ujar Prof Posman.
Tidak lupa Prof Posman menyarankan untuk mengkonsumsi makanan dengan bahan dasar lokal. “Banyak sebenarnya potensi lokal kita yang belum terserap untuk makanan, seperti talas, kimpul, uwi, gembili, ganyong, iles-iles, kentang hitam, dan lain-lain. Jika kita angkat ini akan menjadi potensi yang luar biasa,” ujar Dosen Teknologi Hasil Pangan ini.
Tidak hanya dari Sumatera Utara, kuliner asal Sumatera Barat, yakni rendang, memiliki posisi terhormat dalam budaya Minangkabau. Hal ini lah yang kemudian menurut Dr. Esi Emilia, menjadikan rendang menjadi eksis hingga saat ini. (Humas Unimed/dl)