MEDAN (Unimed) – Ungkapan seperti “nenek moyangku seorang pelaut”, “Indonesia tanah airku”, menunjukkan keterikatan bangsa Indonesia dengan laut. Secara geografis, 2/3 wilayah Indonesia juga adalah laut. Ironisnya, meskipun memiliki sejarah, wilayah dan kebudayaan tentang dunia maritim, perhatian kita terhadap potensi laut masih sangat minim. Hal ini dapat dilihat dari kajian tentang budaya maritim yang masih sedikit, tidak terkecuali dengan Sumatera Utara. Pembangunan nasional juga belum sepenuhnya beranjak dari membelakangi laut.
Demikian disampaikan Ketua Prodi Antropologi Sosial Unimed, Dr. Hidayat, M.Si pada acara Seminar Nasional Landskap Budaya Maritim Sumatera, Jumat (2/11/2018), di Ruang Sidang FIS Unimed. Seminar tersebut menghadirkan narasumber Guru Besar FIB Universitas Andalas, Prof. Gusti Asnan, Ph.D, Guru Besar Emiritus Antropologi Unimed, Prof. Usman Pelly, Ph.D, Dr. Hidayat, M.Si dan Dr. Ida Liana Tanjung, M.Si dari Jurusan Sejarah Unimed. Acara diselenggarakan oleh Prodi Magister Antropologi Sosial Unimed.
“Ironi kita sebagai bangsa bahari. Nenek moyang kita pelaut, tapi pemudanya takut laut. Kita negara yang memiliki pantai terpanjang, tapi garamnya impor. Gizi buruk, padahal sumberdaya ikan melimpah”, gugat Hidayat.
Diharapkannya, generasi muda Indonesia harus kembali menggali jati-dirinya sebagai bangsa bahari karena laut potensial menjadi modal kemajuan bangsa.
“Seminar ini juga menjadi salah satu upaya kita untuk mengingatkan generasi muda, terutama Sumatera Utara, untuk kembali ‘memandangi laut’. Dunia bahari menjadi ladang kajian yang melimpah bagi akademisi”, terangnya.
Senada dengan itu, Wakil Dekan 1 FIS Dr. Deni Setiawan, M.Si yang membuka acara ini, mengajak untuk menjadikan bahari sebagai soul bangsa Indonesia.
“Mudah-mudahan semangat bahari yang didalamnya ada kearifan lokal bisa menjadi jiwa bangsa ini”, ujar Deni.
Profesor Usman Pelly mengingatkan generasi muda tidak hidup ‘membelakangi laut’ karena bangsa Indonesia memiliki kearifan lokal bahari yang kaya.
“Jika kita sering kawasan pegunungan, umumnya merasa diri mereka keturunan orang pantai. Adat istiadat mereka ketika ditelusuri banyak sekali yang berkaitan dengan orang pantai. Jadi orang Indonesia sebenarnya orang pantai. Pertanyaannya mengapa mereka pergi ke pegunungan”, ujar Prof Usman.
Prof Usman menambahkan, inilah yang menjadi tantangan akademisi dan masyarakat. “Sebenarnya masalah ini bisa diatasi dengan tidak berdiam diri. Ini adalah tantangan bagi kita”, terang penulis buku Pinisi Nusantara ini.
Peluang penelitian tentang budaya bahari menurut Prof Gusti Asnan misalnya tentang toponimi kota pantai di Sumatera. Secara umum penamaan negeri atau kota-kota pantai diberikan berdasarkan rupa bumi yang menjadi ciri khas negeri atau kota tersebut. Tanjung Karang atau Teluk Betung misalnya adalah dua nama yang didasarkan pada rupa bumi di mana kedua kota itu berada, yakni tanjung dan teluk. Di samping kedua kota ini, ada belasan atau puluhan nama yang dikaitkan dengan rupa bumi di mana mereka berada. Rupa bumi yang dimaksud juga termasuk posisinya di muara sungai yang bermuara ke kawasan pantai. Di Sumatera Utara hal ini antara lain terlihat dari nama kota Tanjung Pura, Tanjung Balai, Teluk Piai Besar, Teluk Piai Kecil, Kuala Serdang, Kuala Percut dan lain sebagainya.
Di samping penamaan yang berhubungan dengan rupa bumi, banyak juga negeri atau kota yang dinamai berdasarkan aktivitas maritim. “Ada nama yang berhubungan dengan aktivitas perkapalan dan pelayaran. Ada banyak contoh yang bisa disajikan dari penamaan seperti ini. Di Sumatera Utara sendiri bisa ditemukan contohnya pada nama-nama negeri seperti Labuhan Deli, Labuhan Ruku, Labuhan Bilik”, ujar dosen Sejarah Maritim ini.
Hampir sama dengan itu adalah penamaan yang dikaitkan dengan status negeri sebagai pusat kegiatan maritim, yakni dengan kata bandar.
“Dalam kaitan inilah bisa dipahami adanya nama negeri Bandar Kalifah, Bandar Labuan, Bandar Beringin, Bandar Gugung”, tambah Prof Asnan.
Nama-nama lain yang berhubungan dengan aktivitas maritim adalah negeri atau kota yang namanya dikaitkan dengan kata pangkalan. Lokasi tersebut menurut Prof Asnan, menjadi tempat bertemunya para penjual yang umumnya datang dari daerah pedalaman dan pembeli yang umumnya datang dari hilir atau seberang laut.
“Ada banyak juga negeri atau kota di Sumatera Utara yang memiliki nama yang menggunakan kata pangkalan ini, di antaranya Pangkalan Siata, Pangkalan Susu, Pangkalan Brandan, Pangkalan Penang”, tambah penulis buku Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera ini.
Hal menarik lain disampaikan oleh Ida Liana Tanjung yang mengemukakan hasil penelitiannya tentang Orang Pasirir di Tapanuli Tengah. Orang Pasisir disebutkannya adalah percampuran antara suku Minangkabau dan suku Batak. “Perkawinan antara orang Minang dan Batak ini menimbulkan dilema tersendiri karena perbedaan sistem kekerabatan. Minangkabau matrilineal dan Batak patrilineal”, terangnya.
Perkawinan tersebut yang menurut Ida memunculkan budaya hyrida yang disebut dengan Sumando yaitu garis keturunan berdasarkan laki-laki dan hukum waris berdasarkan Islam.
“Dalam Orang Pasirir ini masih banyak yang perlu diungkap lagi. Ini adalah area kajian yang bagus bagi mahasiswa”, pungkasnya. (Humas Unimed/dl)