Medan (Unimed) – Peristiwa ujaran kebencian belakangan ini sangatlah menonjol dan seringkali digunakan sebagai instrument politik untuk memperoleh dukungan publik. Untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran bagi public tentang bahayanya ujaran kebencian Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Unimed bekerjasama dengan The Indonesian Human Rights Monitor (IMPARSIAL) menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Ujaran Kebencian dalam Kontestasi Politik dan Ancaman Konflik Sosial” yang dilaksanakn di Ruang Ujian I lt. 1 Pusat Bahasa Gedung Perpustakaan Lama, Kamis (3/4/18).
Acara diskusi menghadirkan narasumber Rektor Unimed Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd., Kanit Laboratorium Cyber Ditreskrimsus POLDA SUMUT Iptu Joshia Simarmata, S.H., M.H., Peniliti Senior Imparsial Jakarta Bhatara Ibnu Reza. Acara juga dihadiri Wakil Rektor III, Wakil Rektor IV, Wakil Dekan, Kepala Pusham, lembaga advokasi, anggota KPU Sumut, serta ratusan mahasiswa.
Rektor Unimed Prof. Syawal dalam paparannya mengatakan dalam dunia pendidikan menceritakan atau menyampaikan sesuatu yang jelek, tidak baik, dan bohong sudah dilarang dari mulai terdahulu di dunia pendidikan. Beliau berkata pendidikan diberikan agar kita menjadi orang yang bertanggung jawab oleh karena itu ujaran kebencian dilarang di dunia pendidikan.
Lanjutnya beliau mengatakan medium untuk menghidari ujaran kebencian ada 4 medium yang penting yaitu Iman atau Taqwa, Akhlaq, Sehat Pikiran dan Jasmani dan Cerdas untuk bisa bernalar. Prof. Syawal berkata jika menurut kaca mata pendidikan untuk menghindari ujaran kebencian yaitu nalar yang bagus. “Jika ditanya saya maka menurut kacamata pendidikan untuk menghentikan hate speech maka kita perlu mengembangkan nalar kita dengan banyak mencari informasi yang benar dari sumber yang benar sebelum mencerna informasi tersebut, karena kalau kita tidak bisa mengembangkan nalar kita maka hate speech tidak akan bisa hilang. Untuk itu yang paling penting adalah nalar,” Ujar Rektor Unimed.
Bhatara dalam paparannya mengatakan ujaran kebencian di Indonesia belakangan ini menguat dikarenakan pragmatism elit politik yang masih menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan, kepentingan kelompok ekonomi yang terganggu akibat perubahan politik, friksi di lingkaran kekuasaan , euphoria penggunaan sarana media social. Bhatara juga mengatakan untuk menghentikan hate speech di Indonesia maka negara harus membedakan mana yang harus dilarang dan apa yang harus dibatasi.
Isu hate speech atau yang sering dirujuk sebagai ujaran kebencian semakin marak di ruang publik dan perlu mendapat perhatian dan penanganan serius untuk menghentikannya. Untuk menghentikannya ada beberapa yang harus dilakukan oleh masyarakat yaitu mengembangkan nalar, mengetahui undang- undang ITE, mengakamodir hak-hak sipil dan hak politik yaitu mana batasan yang harus dilarang mana batasan yang dapat dibatasi mana batasan yang dilindungi dan yang dapat dihukum. (Humas Unimed)