MEDAN (Unimed) – Roman telah dikenal oleh masyarakat Indonesia lebih dari satu abad yang lampau. Roman tersebut ada yang menggunakan bahasa Melayu-Rendah (Melayu -Tionghoa) seperti Tjerita Roman Binatang, Tjerita Roman Timpalan dan Melayu-Tinggi atau Melayu-Halus seperti Salah Asuhan, Azab dan Sengsara, Sengsara Membawa Nikmat. Roman Medan ditulis dengan selera asli masyarakat, cetusan ekspresi intelektual yang membangkitkan kesadaran masyarakat dan petuah kehidupan berharga. Yang paling menarik adalah Roman Medan dijadikan media untuk melawan kolonial “roman bergenre politik”. Dampaknya Roman Medan tidak disukai, dianggap “sastra liar; bacaan liar; karya picisan” oleh pihak gubernemen.
Demikian diungkapkan penulis sejarah Roman Medan, Koko Hendri Lubis, dalam seminar yang diselenggarakan Mahasiswa Pendidikan Sejarah di VIP Room Gedung Serbaguna Unimed, Sabtu (31/3). Selain Hendri, seminar ini diisi oleh Sastrawan Sumut, Damiri Mahmud; Kadis Budpar Sumut , Dr. Ir. Hj. Wan Hidayati, M.Si; dan Kepala PUSSIS Unimed Dr. Phil. Ichwan Azhari, M.S.
Lebih lanjut Hendri mengungkapkan pada pertengahan 1950-1960-an Medan dijadikan sebagai ibu kota “roman picisan” karena pada saat itu Roman Medan terkenal dimana-mana dan booming disetiap daerah. Genre roman yakni perampokan, pembunuhan, penyelundupan, dan cinta menjadi tema menarik, disukai dan laris manis dijual.
Sehingga pada saat itu, roman-roman yang beragam genre tersebut mendapat kecaman dari berbagai kritikus sastra dan sutradara film. Cerita-cerita roman itu dianggap tidak menawarkan apa pun kepada pembaca, kecuali emosi dangkal, sentimen murahan dan tiada pertanggung jawaban moral dan kesemuanya itu akhirnya meracuni pikiran. Namun anggapan tersebut tidak menjadikan Roman Medan diberhentikan begitu saja, terbukti gairah pencetakan dan pendistribusiannya hampir ke seluruh penjuru tanah air, Singapura, Malaysia dan Arab Saudi.
“Namun setelah tahun 1960-an Roman Medan sudah tidak lagi dicetak, kekosongan pasar dan jarangnya pengarang menghasilkan roman membuat Roman Medan dilupakan atau terlupakan oleh masyarakat Medan yang dulunya katanya kota ‘Roman Picisan’ dan penghasil sastrawan hebat dan ternama”, pungkas Hendri.
Sejarawan Ichwan Azhari mengungkapkan, Roman Medan sempat mengalami masa kejayaan di zamannya dan mendapat tempat tersendiri dihati para pembacanya. Sampai pada akhirnya Roman Medan tidak lagi menjadi sebuah primadona dan akhirnya terlupakan. Oleh sebab itu, dengan adanya acara seminar tersebut diharapkan Roman Medan kembali diminati dan dikaji untuk mempertahankan sejarah. (Humas Unimed).