11/09/2015
Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biar Kampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri.
LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu para tamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.
Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia.
Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) terbesar di Sumatera Utara ada ditangannya.
Lantas apa gerangan yang membuatnya rela kembali turun gunung? “Selama empat tahun di Jakarta (bekerja di Kemendikbud), banyak hal yang saya pelajari. Dan saya melihat Unimed dari sana lebih jernih. Sekarang cara pandang saya terhadap Unimed ini adalah bagaimana menata kembali kampus ini dari hilir sampai hulu,” ucapnya mantap.
Syawal membawa visi baru bagi Unimed. Ia ingin LPTK ini, menjadi institusi pendidikan yang kuat dan bermutu. Lulusan Unimed diarahkan sebagai batu penjuru pembangunan. Mereka harus terampil, siap menjaditeladan dan menginspirasi berbagai perubahan.
Bagi Syawal, restorasi Unimed dimulai dari pertanyaan mendasar.” Apa sebetulnya peran Unimed ini bagi Sumatera Utara? Bagi Indonesia? Dan bagi Dunia?” katanya.
KEBERMAKNAAN
Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd
SEMBARI memperbaiki posisi duduk, Ia menuturkan ide-ide besar, program dan motivasinya kembali ke Unimed. Iapun mengungkapkankerisauan hatinya terhadap pendidikan di Sumut. Terlebih risau atas kebermaknaan Unimed sebagai lembaga pendidikan.
“Seluruh fakultas di Unimed punya program kependidikan. Pertanyaan mendasar: “Apa manfaat atau peran Unimed untuk meningkatkan kualitas pendidikan? Kita tahu, sekolah kan dibangun dengan indeks efisiensi. Indeks efisiensi sekolah itu sendiri dipengaruhi indeks kinerja guru, indeks kinerja kepala sekolah dan indeks kinerja pengawas. Lalu bagaimana meningkatkan kualitas sekolah dengan indeks tadi?” terangnya seakan menggugat dirinya sendiri.
Syawal meneruskan pertanyaannya,”kami punya Fakultas Ekonomi. Apa peran fakultas ini untuk mengentaskan rakyat marjinal yang kualitas hidupnya rendah? Mereka itu berada di sekitaran Unimed.Kan aneh juga, kami belajar tentang teori-teori ekonomi tapi ternyata pedagang-pedagang di sekitaran Unimed tak bisa kami intervensi persoalan hidupnya.
Lebih jauh ia mencontohkan Fakultas MIPA. Di sektor industri karet ada program penjernihan mutu produk secara proses kimia. Lalu bagaimana supaya produk-produk itu lebih baik? Di sinilah peran FMIPA. “Kami juga punya jurusan Biologi. Ada doktor dan ahli rekayasa genetika. Apa yang bisa mereka sumbangkan untuk meningkatkan mutu produksi karet serta sawit di Sumut?” kembali ia melempar auto-kritik.
Karena itu, katanya lagi, Ia akan terlebih dahulu merumuskan kembali apa manfaat kehadiran Unimed bagi Sumatera Utara, bagi Indonesia, bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan bagi dunia. Setelah itu barulah Ia menata internal.
Syawal memberi empat opsi untuk menata internal, yaitu menata lulusan supaya kompetensinya sesuai kebutuhan, menata ulang layanan akademik, menata fisik dan manajemen sumber daya (resource).Untuk tata mutu lulusan, Syawal mengatakan, ia akan memperkuat pelaksanaan KBK sistem Blok. Menurutnya, sistem ini satu-satunya jawaban yang bisa meningkatkan kualitas dan keterpakaian lulusan.
Lantas, kenapa mesti kurikulum tersebut?”Karena cara mengembangkan KBK sistem Blok adalah dengan terlebih dahulu, mengidentifikasi/mengeksplorasi kebutuhan-kebutuhan apa yang ada di luar kampus ini, kompetensi-kompetensi apa yang diperlukan untuk seluruh bidang pekerjaan itu. Setelah teridentifikasi, persoalan itu kemudian kami angkat jadi materi kuliah. Persoalan itu dibahas di kampus,” ungkapnya.
Pendapat Syawal ini sepertinya ingin menjawab rilis Bank Dunia bertajuk Indonesia: Skills Development for National Productivity (2011). Dalam laporan itu, Bank Dunia menyebut keterampilan, pengetahuan dan pengalaman yang relevan kepada pasar kerja merupakan hal yang vital untuk meningkatkan dampak tenaga kerja dan meningkatkan produktivitas. Namun, sistem pendidikan dan pelatihan di negara-negaraAsia Tenggara, termasuk Indonesia, sering kekurangan kualitas dan tidak relevan, membuat para pekerja tidak siap memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Hal serupa dinyatakan Raoul Oberman dari McKinsey Global Institute (MGI). MGI melaporkan sekitar 56 persen tamatan-tamatan muda sekolah di Indonesia tidak mempunyai persiapan yang cukup untuk memasuki dunia kerja. Data itu disampaikan dalam laporan riset berjudul The Archipelago Economic; Unleashing Indonesia’s potential (2012).
Jadi wajar jika Syawal menaruh perhatian besar kepada isu kompetensi lulusan. Sebagai pendidik dan orangtua, tentu Syawal tidak mau anak-anaknya gagal di masa depan karena kurang terlatih.
BERBASIS DATA
Lebih jauh,lelaki asli Samosir itu menyebut, pembinaan sumberdaya manusia di Unimed akan dilakukan berbasis data. Ke depan, segala keputusan tidak lagi dilandasi opini atau dugaan. Sebab dengan data, tidak ada lagi kesulitan untuk mengambil keputusan.
Guna mendukung gagasan ini, Syawal membentuk tim Decision Supporting Sistem (DSS). Tim ini bertugas menghimpun data. Data harus valid dan akurat. Sebab data yang salah bisa memengaruhi keputusan. Data akan menunjang pengambilan keputusan yang lebih baik.
“Kini saya sudah membentuk tim berjumlah lima orang yang akan menangani pembuatan manajemen berbasis data. Mereka akan bekerja membuat sistem open source. Tim ini dari internal Unimed. Tapi kalau mereka tidak mampu, saya akan cari orang dari (pihak) luar. Tapi saya masih yakin dengan tim ini. Jadi akan saya terapkan manajemen moderen yakni decision supporting sistem, pengambilan keputusan berbasis data,” pungkasnya.
Selain membenahi ulang kurikulum dan menerapkan sistem manajemen moderen, gebrakan lain yang dilakukan Syawal adalah menampilkan kepemimpinan yang kuat, yakni kepemimpinan yang teladan, kepemimpinan yang melayani. Selanjutnya menumbuhkan atmosfer akademik yang sehat (di dalamnya termasuk pola hubungan yang sehat antara pemimpin-dekan-dosen–mahasiswa). Disusul produktivitas dan keberlanjutan program.
GEBRAKAN LAIN
Gebrakan lain yang dicanangkannya adalah memberdayakan seluruh sumber daya. Nah, bagaimana mekanisme pemberdayaan? Menurut Syawal, gendangnya ada empat yakni memetakan mutu dosen, memberdayaan dosen sesuai kompetensi keahliannya, meluaskan jejaring dan membuka pintu kerjasama, serta mengelola pertemanan.
Pemetaan mutu dosen dikerjakan berdasarkan latar belakang akademik, riset-riset yang pernah dilakukan, pelatihan yang pernah diikuti dan pengabdian yang pernah dikerjakan para dosen. Berdasarkan pemetaan itu, Syawal akan memberikan tanggung jawab kepada para dosen
Di saat bersamaa, Ia akan memperluas jejaring kerjasama ke semua lini. Ribuan dosen dengan beragam kompetensi inilah yang akan menangani kerjasama tersebut sesuai bidang keahliannya.
Kenapa yang menangani kerjasama harus sesuai bidang keahliannya? Kata Syawal, Unimed akan dilirik manfaatnya jika punya banyak kerjasama dengan lembaga lain. Tentu rumus menjaga eksistensi kerjasama adalah kualitas. Ketika kebermaknaan Unimed tak dirasakan pihak eksternal stakeholder,kerjasama dengan sendirinya putus. “Karena itu Unimed harus bisa menjual produk, menjual kompetensi keterampilan dan menjual kualitas. Supaya eksternal stakeholder punya ketergantungan pada Unimed, mutu harus dijaga. Kalau kualitas merosot otomatis kerjasama bubar,” terangnya.
Unimed didorong menciptakan dosen-dosen cerdas nan adaptif. Kini Unimed memiliki tujuh orang dekan, dua lembaga, 21 orang pembantu dekan, dan seribuan dosen. Sayangnya baru 120-an orang yang terberdayakan secara optimal. Yang lain bagaimana? “Saya akan membangun kerjasama dengan banyak lembaga lain, sehingga semua dosen bisa diberdayakan,” ujarnya.
Syawal mengakui bahwa pemberdayaan berbasis kompetensi atau kinerja memilikitantangan tersendiri. Mereka yang tidak kompeten akan terdepak. Pemetaan sesungguhnya eufemisme alias penghalusan bahasa dari kata seleksi alam. Siapa yang kuat (adaptif) ia menang, yang lemah (tidak adaptif) akan tersingkir. “Ya, kami harus menempatkan orang sesuai kompetensinya. Karena itu pemberdayaan harus seobjektif mungkin,” pungkasnya.
TANTANGAN
Syawal Gultom dan Keluarga
Syawal menyebut, tantangan seputar peningkatan mutu pendidikan saat ini adalah rendahnya mutu lulusan. Bahkan lulusan LPTK tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah. “Setelah lulus dari LPTK dan bertugas di sekolah, kita harus mengakui, mereka belum mampu menerapkan pembelajaran aktif, juga belum mampu menjadi guru inspiratif,” katanya.
Professor Christpoher Brjok, Dekan Pendidikan di Vassar College, New York, Amerika Serikat (AS) sepertinya punya cara pandang yang sama dengan Syawal. Dalam publikasi bertajuk Teachers Training, School Norms and Teacher Effectiveness in Indonesia (2013), Brjok menulis pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa yang direncanakan sebagai guru umumnya sangat rendah kualitasnya, hanya difokuskan kepada teori daripada instruksi yang praktikal (instructional practices).Staff pengajar di fakultas pendidikan sangat terbatas yang memiliki pengalaman mengajar di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Sedangkan Syawal melihat rendahnya lulusan LPTK,dipicu empat hal yaitu, rendahnya kinerja profesional guru, (hal ini tentu dipengaruhi kompetensi dan integritas),sikap terhadap profesi keguruan, masalah distribusi guru dan problem pembinaan guru.
Distribusi guru yang masih bermasalah menyebabkan sejumlah daerah kekurangan guru meski di kota-kota besar jumlahnya berlebih. Guru kita kini mencapai tiga juta orang. Dengan jumlah tersebut, rasio guru-murid kita, satu berbanding 17. Artinya satu guru bisa mendampingi 17 murid. Rasio ini mengalahkan negara maju yang baru 1: 25. Bahkan China 1:50. Lantas kenapa sejumlah sekolah masih kekurangan guru padahal rasionya ideal? “Inilah dampak dari distribusi yang amburadul,” sahut Syawal.
Di sisi lain, terkait masalah pembinaan, masih banyak guru belum terampil menerapkan pembelajaran aktif. Mereka perlu mendapat pelatihan. Apalagi pembinaan adalah amanah dari UU No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Undang-undang ini menyebut pelatihan adalah hak guru. Itu artinya, memberi pelatihan adalah kewajiban pemerintah.
Sebenarnya tidak boleh ada guru yang tidak dilatih. Kenapa? Sebab teori belajar, masalah dan teknologi terus berkembang. Sangat tidak cukup jika guru hanya mengandalkan modal pengetahuan yang didapatnya saat kuliah dulu. Guru harus terus memperbarui ilmu dan keterampilannya.
STRATEGI SYAWAL
Lantas bagaimana memperbaiki persoalan guru ini? Syawal Gultom percaya, persoalan rendahnya mutu guru hanya bisa diatasi jika diintervensi dari hilir sampai hulu. Di hilir, Unimed akan melakukan lima hal. Pertama, menciptakan lulusan LPTK Unimed yang relevan dengan kebutuhan sekolah. Kedua, merubah mata kuliah Proses Belajar Mengajar dan Micro Teaching bahkan PPL.
Berikutnya, merencanakan kebutuhan guru. Selanjutnya, mengekspansi program USAID PRIORITAS. Program ini dinilai cukup berhasil meningktakan keterampilan pedagogy dosen dan membuat LPTK lebih dekat dengan sekolah. Terakhir membangun sistem berbasis data atau decision supporting system.
Untuk mewujudkan strategi itu, Unimed akan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) sistem blok. Sistem ini akan mengakui seseorang layak menjadi guru jika ia sudah lulus uji standar. “Kami tidak akan menamatkan seseorang kalau ia tak lulus tes standar yang akan kami tentukan,” katanya.
Dengan penerapan KBK sistem blok ini, sambung Syawal, orientasi perkuliahan berubah mulai dari pengelolaan mata kuliah Proses Belajar Mengajar (PBM), micro teaching dan PPL. Sementara itu, pelatihan bagi mahasiswa calon guru juga harus cukup waktunya dan memadai mutunya. “Itulah perubahan-perubahan mendasar yang kami lakukan di Unimed,” cetusnya.
Sedang di hulu, Unimed bersama Pemerintah Kabupaten/Kota merencanakan kebutuhan guru. Perencanaan meliputi proses pendidikan di LPTK sampai proses pembenahan setelah menjadi guru dan distribusinya.Unimed bisa memfasilitasi redistribusi guru, mulai dari penyediaan data (pemetaan dan pendaftaran ulang) dan mekanisme pendistribusiannya. Namun yang utama, kata Syawal Gultom, semua kabupaten/kota harus duduk bersama merencanakan penataan ulang distribusi guru.
Di micro teaching itu, teori-teori belajar harus dipraktikkan. Kita bisa pastikan bahwa si mahasiswa yangmicro teaching ini mencapai standar kompetensi yang dipersyaratkan itu. Jadi mempraktikkan teori-teori belajar itu harus dalam skop yang masih kecil, karena pada saat PPL dia sudah real teaching. Kalau tidak mencapai standar itu, dia harus ulangi lagi. Kalau dulu kan belum layak pun sudah diluluskan. Mulai sekarang akan ada kontrol yang ketat.
Masa PPL akan kita tambah. Bila perlu sampai enam bulan di sekolah. Bukan hanya alokasi waktunya, tetapi passing levelnya harus juga tercapai. Maka sejak awal kami harus sepakati SOP dengan benar antara DPL dengan kepala sekolah, guru pamong dan pengawas. Sebelumnya, perlu ada penyegaran kepada lima komponen ini.
Karena itu, lintasan pertama yang dibangun Syawal untuk mewujudkan visinya itu adalah dengan membangun kepemimpinan yang kuat, lalu membangun internal manajemen. Berikutnya, menumbuhkan atmosfer akademik yang sehat (di dalamnya pola hubungan yang sehat antara pemimpin-dekan-dosen-mahasiswa) dan disusul produktivitas dan keberlanjutan program.
Sementara untuk mekanisme pemberdayaan, sambungnya, ia menempuhnya dengan empat cara, yakni memetakan kompetensi dosen (berbasis latar belakang akademiknya, riset-riset yang pernah dilakukannya, pelatihan yang pernah diikutinya dan pengabdian yang pernah dikerjakannya). Berdasarkan pemetaan itulah, terang Syawal, ia akan memberikan tanggung jawab kepada para dosen sembari memperluas jejaring ke semua lini.
Dengan pemetaan dan pemberdayaan dosen itu, menurut Syawal, barulah Unimed bisa menjual produk, menjual kompetensi keterampilan dan menjual kualitas. Supaya eksternal stakeholder punya ketergantungan pada Unimed, tak ada jalan lain, mutu menjadi pertaruhan. “Karena itu kualitas harus dijaga agar jangan sampai merosot. Jika merosot, otomatis kerjasama bubar,” terangnya. (ditulis oleh : Dedy Gunawan Hutajulu, – Wartawan Harian Analisa Medan).